Selasa, 13 Mei 2014

Untuk Si Penakluk

Senyum getir yang terpoles ini,
Meneriakkan sesuatu dari riak-riak perasaan;

Mungkin kamu tak pernah tahu
Bahwa secuil perhatianmu
Bahwa seutas senyum dari bibir tipismu
Bahwa sekerling tatap dari mata teduhmu
Sudah hempaskan jatuh satu perasaan
Yang dahulu aku ikat dan taruh di pucuk tertinggi kesombongan.

Sungguh dari tingkatan sesungguh-sungguhnya
Aku telah terlanjur jatuh dan luruh
Angkuhku runtuh, egoku terhempas jauh
Benar dari tingkatan sebenar-benarnya
Aku telah terlanjur takluk dan tak lagi tegar tengkuk
Aku harus mencarimu, Aku harus mendapatkanmu. Lagi

Seharusnya itu, kamu untukku! Ya, tetap untukku!
Kamu yang telah menghajar segala perhatianku, juga segala perasaanku.

Asal kamu tahu,
Senyum getir yang terpoles ini
Menandakan kebodohan yang aku tertawai sendiri;

Aku menjadi aku yang sesungguhnya bukan aku
Setelah terluka, terantuk, dan babak belur
Dihajar kenyataan bahwa kepergianmu adalah nyata;
Nyata yang menjadi tamu singgah dalam hidup
Entah kebetulan, entah sengaja, atau iseng belaka
Tapi yang jelas, tidak menyenangkan

Ada bekas yang tertinggal dari kepergianmu dahulu
Dari peninggalanmu, sebuah alasan kuatku
Dari bekas jejakmu, sebuah alasan hebatku
Ada kamu, di setiap alur, lekuk, dan kelok hidupku

Ada senyum getir yang terpoles pagi ini
Dari sebuah kuat yang sebenarnya dikuat-kuatkan

Ah, sudahlah;
Kucukupkan polesan senyum getir ini,
Aku telah berkarat semenjak kau tinggalkanku tanpa aba-aba

Seharusnya kau tak pernah ada, penaklukku.

(Suno C. 2014. Kamar Tidur)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar